Rabu, 31 Oktober 2018

Pengertian dan Pembagian Majaz beserta Contoh-contohnya

Pengertian Majâz
Majâz menurut etimologi terbentuk dari kata ja ̅za al-syai’ yajuu ̅hu (melampaui batas). Sedangkan secara terminologi menurut al-Jurjani adalah nominal yang di maksudkan bukan untuk makna tekstual, melainkan untuk nakna kontekstual.  Jadi majâz adalah kata, kalimat atau wacana yang mengandung kiasan, yang berbeda dengan lafadz awal melainka memiliki arti tersendiri yang ada di belaknanya.
Istilah majâz merupakan istilah yang muncul belakangan, jauh setelah masa Rasul, yaitu abad kedua Hjriah. Dikemukakan oleh Abu ‘Ubadah Mu‘ammar al-Husana ̅ (w. 207 H) dengan karyanya : Maja ̅z al-Qur’¬a ̅n, meskipun istilah majâz di kemukakkan masih dalam istilah umum, mencakup istilah besar, untuk tidak mengatkan semua, gaya bahasa yang di kemukakkan oleh rang Arab sebelum atau di saat turunnya al-Qur’an dalam mengemukakkan (ta‘bi ̅r) gagasan yang hendak di sampaikannya secara substansial, gaya bahasa ini sejak al-Qur’an di turunkan bahkan sebelumnya, permasalahannya hanyalah menyangkut istilah saja.
Sebagai suatu gaya bahasa yang di gunakan dan di kaji orang banyak, majâz mempunyai keragaman pengertian sesuai keragaman pengkajiannya, secara historis pengertian majâz  kemukakkan sebagai berikut:
Sebelum muncul istilah ini (majâz) para mufassir, seperti muja ̅hid (w. 104 H), Qata ̅dah dan Ibnu Abbas (w. 78 H) menggunakan istilah mas ̇al untuk menujukan istilah pengertian tasykhi ̅s (personifikasi) atau taswir (ilustrasi) yang dapat di kategorikan pula ke ragam gaya bahasa majâz. Dengan demikian, mereka mengerti di balik makna yang tersurat ada makna yang tersirat.
Abu ‘Ubadah Mu‘ammar al-Husana ̅ (w. 207 H) menggunakan istilah majâz untuk arti yang lebih luas, sebagai mana yang telah di sebagaimana yang telah di sebutkan diatas, sementara al Farra ̅‘ (w. 209 H) ahli bahasa semasanyamengunakan istilah tajawwuz justeru lebih dekat menunjuk kepada gaya bahasa yang kemudian lebih di kenal dengan istilah majâz.
Istilah belum begitu jelas ini kemudian di matangkan oleh al-Ja ̅hiz (w. 255) dengan menggunakan dua syarat bagi gaaya bahasa majâz: pertama, antara makna baru dengan makna lama (makna asal) harus ada sesuatu hubunganmakna (‘ala ̅qah). Kedua, hak untuk memndahkan sesuatu makna kata (yang asal)  ke makna lain (yang baru) ada pada masyarakat pengguna bahasa tersebut, bukan hak individu. Tujuan di kemukakkannya dua syatar di atas adalah agar pesan yang di bawa bahasa itu jelas, karena fungsi bahasa menurutnya adalah al-Iba ̅nah (memberi kejelasan informasi atau pesan.

Pembagian majâz
  • Majâz Lughawi

Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual).  Atau majâz lughawi adalah majâz yang ‘illahnya di sandarkan pada aspek bahasa yang di gunakan. Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi dua macam: Isti’ârah dan Majâz Mursal.
1. Isti’ârah

Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi dua macam 
1. Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah adalah isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata musyabbah bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
2. Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah isti’ârah yang dibuang musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت أطفارها * ألفيت كل تميمة لا تنفع
Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah, isti’ârah ada dua macam, yaitu:
a) Isti’ârah Ashliyyah : yaitu isti’ârah yang mana kata-kata isti’arah-nya berasal dari ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (إبراهيم :١
b) Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه:71
Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi tiga macam:
a.  Al-Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
b. Al-isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah-nya, contoh:
وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
c. Al-Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pasa musyabbah dan musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27 
2. Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah majâz dimana hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya 
a. As-Sababiyyah adalah salah satu indikator majaz murasal pada majaz ini indikatornya adalah menyebabkan sesuatu, sedangkan adalah sesuatu yang di sebabkan, contoh:
له أياد علي سابغة  *  أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
b. Al-Musabbabiyyah, adalah menyebutkan sesuatu yang di sebabkan, sedangkan yang di maksud adalah sebabnya. contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
c. Al-Kulliyah adalah sebagai indikator majaz murasal  dalam ilmu bilaghah  di definisikan sebagai menyebutkan sesuatu keseluruhanya sedangkan yang di maksud adalah sebagiannya. contoh:
يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
d. Al-Juz`iyyah, adalah sebagai indkator majaz murasal menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang di maksudkan adalah keseluruhannya. contoh:
فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
e. I’tibâr mâ kâna adalah menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang di maksudkannya adalah sesuatu yang tidak terjadi atau yang akan terjadi. contoh:
وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)
f. I’tibâr mâ yakûnu adalah yang bentuknya menyebutkan sesuatu yang akan atau belum terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah sesuatu yang telah terjadi. contoh:
إني أرني أعصر خمرا  (الآية)
g. Al-Hâliyah adalah menyebutkan sesuatu tempat, namun yang di maksudkan adalah sesuau yang menempatinya contoh :
واسأل القرية التى كنا فيها (الآية
h. Al-Mahalliyah adalah menyebutkan keadaan sesuatu padahal yang di maksudkan adalah yang menempatinya. contoh:
وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)
  • Majâz ‘Aqli

Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang pemakmaan yang sebenarnya (tekstual) . Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam majâz ‘aqli, diantaranya:
a. Penyandaran fi’il kepada sebab akibat  contoh:
وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
b. Penisbatan waktu, contoh:
يوما يجعل الولدان شيبا 
c. Penisbatan kepada masdar, contoh:
وجعلنا الأنهار تجرى  من تح تهم

Fungsi dan pengaruh majâz dalam lughah
Banyak sekali fungsi dan pengaruh majâz dalam suatu pembahasan. Ibnu Jinni (w. 647 H) mengungkapkan tiga fungsi majâz, sebagaimana yang di ungkapkan oleh beliau adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Tasybih adalah menyerupakan suatu gagasan atau makna yang abstrak dengan yang kongkrit, atau yang sifatnya kurang dengan sifatnya yang lebih. Seperti menyerupakan kekuasaan dengan tangan, yang pertama abstrak dan yang kedua kongkrit. Menyerupakan terangnya malam dengan terangnya siang, yang pertama mempunya sifat terang yang lemah, da yang kedua mempunya sifat terang yang lebih kuat. Contohnya dalam QS. Al-A’raf [7]: 131
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Artinya : “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.

2. Fungsi Ta’kid adalah memperkokoh makna atau gagasan yang hendak di sampaikan, dengan cara membandingkan sebagaimana cara di atas. Dengan membandingkan makna yang lemah dengan makna yang lebih kuat sebagai hasil dari proses perbandingan tersebut akan menghasilkan sifat yang lebih kuat.
3. Fungsi tawassu’ adalah memperluas makna sehingga padat makna dengan cara deviasi yakni penyimpangan arti dari yang lama (tersurat) menjadi arti yang baru (yang tersirat). Fungsi tawassu’  tampak sekali pada majâz. Majâz ini. Namun, majâz iniberpingsi dalam sebuah wacan. Bukan untuk sebuah kalimat ataupun kata per kata.

Perbedaan antara majazi dan haqiqi
Dalam definisi majaz sudah kami paparkan di atas, dan dapat di simpulkan empat rukun majaz, diantaranya adalah:
  1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna pertama)
  2. Al Wadh’u Ats Tsani (makna kedua)
  3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)
  4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua)

Semisal kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang” Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz : – Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas. – Makna kedua : makna lelaki yang pemberani. – Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang. – Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian. Maka berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki ‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz. Kesesatan Mu’tazilah Firqah Mu’tazilah telah sesat pada penggunaan majaz dalam aqidah mereka, dimana mereka menggunakan majaz ketika menafsirkan ayat- ayat tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah berfirman.
 “Allah berfirman, Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada (Adam), yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku, Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk golongan yang (lebih) tinggi. (Shad [38]: 75)”
 Mereka (mu’tazilah dan yang sejalan dengan meraka), memaknai kata “Tangan Allah” dengan “Kekuatan Allah”. Mereka mengatakan bahwa ada ‘alaqah (hubungan) antara kata “tangan” dan “kekuatan”. Dan mereka juga menetapkan adanya qarinah (penghalang untk memaknai makna haqiqi), yaitu mereka takut untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, ketika kata tersebut dimaknai dengan makna haqiqi. Sehingga lengkaplah syarat majaz yang mereka tetapkan, dan terpenuhilah syarat majaz dalam penafsiran meraka. Maka kita katakan : Memang antara makna tangan dan makna kekuatan memiliki hubungan (Al ‘Alaqah) dan hubungan kedua kata ini lazim digunakan. Akan tetapi qarinah yang mereka jadikan sebagai alasan tahriif (penyimpangan makna) mereka adalah qarinah yang tidak bisa diterima. Karena menetapkan adanya Tangan bagi Allah SWT, bukan berarti menyamakan Tangan Allah dengan tangan makluk-Nya. 
Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan hakikat. Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bagi kita kesesatan orang mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Mereka telah menetapkan majaz bagi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, padahal pada majaz yang mereka tetapkan tidak terpenuhi syarat- syarat majaz. Definisi Haqiqi Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :
Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (ﺓﻼﺼﻟﺍ) berarti doa/ad du’aau (ﺀﺎﻋﺪﻟﺍ). 2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (ﺓﻼﺼﻟﺍ), berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, demikian makna sholat secara syariat. 3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang digunakan pada makna yanga sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al waladu (ﺪﻟﻮﻟﺍ) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki- laki. Maka dari pembagian jenis-jenis haqiqi ini, dapat kita ambil suatu faidah. Hendaklah kita meletakkan makna-makna tersebut pada tempatnya masing-masing. Artinya jika kita sedang berbicara dalam permasalahan bahasa, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara bahasa. Jika kita sedang berbicara tentang masalah agama/syari’at, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara syari’at. Begitu pula dengan haqiqi urfiyah.

Selasa, 16 Oktober 2018

Makalah Asma Man Nazila Fihim al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW. melalui perantara malaikat Jibril yang diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari secara berangsur-angsur dan membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an berisikan tentang firman-firman Allah, do’a, ancaman, berita, mukjizat para Nabi serta kisah pada zaman para Nabi Allah.
Kisah para Nabi ini diabadikan dalam al-Qur’anul Karim. Dalam kisahnya, para Nabi maupun sahabat ini ada yang disebutkan namanya, ada juga yang tidak disebutkan namanya atau bisa dikatakan “disamarkan” dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, disebutkan nama-nama yang menjadi latar belakang atau sebab turunnya ayat al-Qur’an.  
Salah satunya dalam pembahasan ini yakni “Asma man Nazala fihim Al-Qur’an”, terdapat beberapa nama sahabat Rasulullah SAW. yang namanya menjadi sebab turunnya ayat al-Qur’an baik itu disebutkan namanya maupun tidak disebutkan namanya. 
B. Rumusan Masalah 
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Asma man Nazala fihim al-Qur’an?
2. Siapa saja nama Sahabat yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat?
      C. Tujuan Penulisan 
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui pengertian dari Asma man Nazala fihim al-Qur’an.
2. Mengetahui nama sahabat yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat.


BAB II
PEMBAHASAN 
A. Pengertian 
Asma man Nazala fihim al-Qur’an merupakan nama-nama orang yang diturunkan dalam al-Qur’an. Nama-nama orang yang diturunkan dalam al-Qur’an ini merupakan nama sahabat-sahabat Rasulullah SAW. yang dekat dengan beliau serta memiliki latar belakang turunnya ayat tersebut. 
B. Nama-nama Sahabat Rasulullah SAW.
Adapun beberapa nama sahabat-sahabat yang diabadikan atau diturunkan dalam al-Qur’an diantaranya: 
1. Zaid bin Haritsah 
QS. al-Ahzab : 37 
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِىٓ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخْفِى فِى نَفْسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ
 أَن تَخْشَىٰهُ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَٰكَهَا لِكَىْ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِىٓ أَزْوَٰجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا۟ مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ ٱللَّهِ مَفْعُولًا ﴿٣٧﴾
“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.”

Asbabun Nuzul 
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Anas, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Zainab binti Jahsyi dan Zaid bin Haritsah. Diriwayatkan oleh Al-Hakim yang bersumber dari Anas, bahwa Zaid bin Haritsah mengadu kepada Nabi SAW. Tentang kelakuan Zainab binti Jahsyi. Bersabdalah Rasulullah SAW. "Tahanlah istrimu". Maka turunlah ayat ini yang mengingatkan Rasulullah akan sesuatu yang tetap dirahasiakan oleh dirinya yang telah diberitahukan oleh Allah.

Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan An-Nasai, bahwa ketika telah habis iddah Zainab (setelah dicerai oleh Zaid), bersabdalah Rasulullah SAW. Kepada Zaid: "Pergilah engkau kepada Zainab dan terangkanlah kepadanya bahwa aku akan mengawininya". Berangkatlah Zaid memberitahukan maksud Rasulullah. Zainab pun menjawab: "Aku tidak akan berbuat apa-apa sebelum meminta pertimbangan dari Tuhanku". Ia pergi ke tempat sujudnya. Setelah turun ayat ini, datanglah Rasulullah SAW. mengawininya tanpa menunggu persetujuannya. Pada waktu itu para sahabat dijamu makan roti dan daging walimah dan berangsur pulang, hanya tinggal beberapa orang saja bercakap-cakap disana. Keluar masuklah Rasulullah kerumah istrinya dan Zaid pun mengikutinya. Beberapa kemudian diberitahukan bahwa semua orang sudah meninggalkan rumah Zainab. Maka pergilah Rasulullah Saw. Dan mendapatkan Zainab diikuti oleh Zaid. Akan tetapi Rasulullah saw. Dihalangi dengan hijab. Turun pula (Q.S. Al-Ahzab ayat 53) berkenaan dengan peristiwa tersebut sebagai larangan kepada kaum muslimin untuk memasuki Rasulullah kecuali dengan izinnya.

QS. al-Ahzab : 40 
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا ﴿٤٠﴾
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Asbabun Nuzul 
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi yang bersumber dari Aisyah bahwa ketika Rasulullah SAW. kawin dengan Zainab, orang banyak ribut membincangkannya; “Muhammad kawin dengan bekas istri anaknya”. Maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa Zaid bukan putra Rasulullah SAW.

2. Thalhah bin Ubaidillah 
QS. al-Ahzab : 23
مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبْدِيلًا ﴿٢٣﴾
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya),


Asbabun Nuzul 
Diriwayatkan oleh Muslim dan At-Tirmidzi dan yang lainnya bersumber dari Anas, bahwa Anas An-nadhir (paman Anas bin Malik) tidak ikut serta dalam perang Badar bersama Rasulullah. Ia merasa sangat berdosa karenanya dan berkata: "Dalam peperangan Rasulullah yang pertama aku tidak dapat ikut. Sekiranya Allah menakdirkan aku dapat menyaksikan peperangan bersama Rasulullah SAW. Allah akan menyaksikan apa yang akan kuperbuat". Ia pun turut berjihad dalam Perang Uhud dan gugur sebagai Syahid. Dibadannya terdapat lebih dari delapan puluh luka bekas pukulan, tusukan tombak dan bekas panah. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut sebagai pujian terhadap orang yang menunaikan janjinya.

3. Ka’ab bin Malik
QS. at-Taubah : 118 
وَعَلَى ٱلثَّلَٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ 
إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ﴿١١٨﴾
“dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”



Asbabun Nuzul 
Zuhri r.a memaparkan, bahwa kata Rasulullah SAW. berangkat menuju medan perang Tabuk, Ka’ab bin Malik r.a, Hilal bin Ummayah r.a, dan Murarah Bin Rabi’ r.a, semuanya para sahabat Anshar, tidak ikut berperang. Mereka sangat menyesal, karena uzur yang mengakibatkan mereka tidak bisa ikut. Selama lebih kurang 50 hari, mereka di boikot kaum Muslim. Mereka bertaubat kepada Allah. Maka, turunlah ayat ini (HR. Bukhori dan Muslim). 

4. Tsabit bin Qais 
QS. al-Hujurat : 2-3 
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرْفَعُوٓا۟ أَصْوَٰتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ ٱلنَّبِىِّ وَلَا تَجْهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَٰلُكُمْ 
وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٢﴾ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَٰتَهُمْ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱمْتَحَنَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَىٰ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٣﴾ 
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.”

  
Asbabun Nuzul 
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah yang berkata, "Diantara sahabat ada yang mengeraskan suara dalam berbicara (dengan Rasulullah). Allah lalu menurunkan ayat ini."

Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari Muhammad bin Tsabit bin Qais bin Syamas yang berkata, "Tatkala turun ayat 2, "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,..." Tsabit bin Qais terlihat duduk di tengah jalan sambil menangis. Tidak lama berselang, Ashim Bin Uday bin Ajlan lewat dihadapannya. Ashim lalu bertanya. "Kenapa engkau menangis?' Tsabit menjawab, 'Karena ayat ini. Saya sangat takut jika ayat ini turun berkenaan dengan saya karena saya adalah seorang yang bersuara keras dalam berbicara.' Ashim lantas melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Beliau kemudian memanggil Tsabit dan berkata, 'Sukakah engkau hidup dalam kesulitan dan nantinya meninggal dalam keadaan syahid?' Tsabit segera menjawab, "Ya, saya senang dengan kabar gembira yang saya terima dari Allah dari Rasul-Nya ini. Saya berjanji tidak akan pernah lagi berbicara lebih keras dari suara Rasulullah.' Allah lalu menurunkan ayat 3, 'Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya disisi Rasulullah,...' "

5. Abu Ubaidah bin Jarrah 
QS. al-Mujadilah : 22 
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُو۟لَٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ أُو۟لَٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ﴿٢٢﴾
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.”

Asbabun Nuzul 
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Syaudzab yang berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, yaitu ketika ia membunuh ayahnya pada Perang Badar. Ketika itu, turunlah ayat ini."

Imam Ath-Thabrani dan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak meriwayatkan hal serupa, namun dengan lafazh, "Pada saat berkecamuknya Perang Badar, ayah Abu Ubaidah bin Jarrah acapkali merintangi gerak-gerik anaknya tersebut. Pada awalnya, Abu Ubaidah selalu berusaha menghindar (agar tidak berhadapan dengan sang ayah). Akan tetapi, ketika ayahnya itu tetap bersikap demikian, Abu Ubaidah pun kemudian menghampirinya lalu membunuhnya. Setelah itu, turunlah ayat ini."

Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang berkata, "Diinformasikan kepada saya bahwa suatu ketika Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) mencaci maki Nabi SAW. Abu Bakar langsung memukul kepalanya hingga terjatuh. Ketika peristiwa itu didengar oleh Nabi Saw, beliau lalu berkata, 'Benarkah engkau berbuat seperti itu, wahai Abu Bakar?' Abu Bakar menjawab, 'Demi Allah, sekiranya pada saat itu ada perang di dekat saya, niscaya akan saya tebas lehernya.' Tidak lama kemudian, turunlah ayat ini."

6. Sa’ad bin Abi Waqash 
QS. al-Anfal : 1
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَنفَالِ قُلِ ٱلْأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ﴿١﴾
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, "Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman."

Asbabun Nuzul 
Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Hibban, dan al-Hakim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, "Nabi SAW. bersabda, 'Barangsiapa membunuh seorang musuh, maka Ia mendapat ini dan itu. Dan barangsiapa menawan seorang musuh, maka ia mendapat ini dan itu.' Orang-orang tua bertahan di bawah panji-panji perang, sedangkan para pemuda maju membunuhi musuh dan merampas ghanimah. Lalu orang-orang yang tua itu berkata kepada para pemuda, 'Beri kami bagian, sebab kami adalah tulang punggung kalian. Seandainya terjadi sesuatu pada kalian pasti kalian mundur kepada kami.' Mereka bertengkar, lalu mereka menghadap Nabi SAW.,hingga turunlah ayat, 'Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang.... "

7. Abu Bakar as-Sidiq 
QS. al-Lail : 17-21 
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى ﴿١٧﴾ٱلَّذِى يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ﴿١٨﴾وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ ﴿١٩﴾إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ ﴿٢٠﴾وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ ﴿٢١﴾
“Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.  Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna).” 

Asbabun Nuzul 
  Yang dimaksud dengan merasa dirinya cukup ialah tidak memerlukan lagi pertolongan Allah dan tidak bertakwa kepada-Nya.
 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang pemilik pohon kurma mempunyai pohon yang mayangnya menjulur ke rumah tetanganya, seorang fakir yang banyak anak. Setiap kali pemilik kurma itu memetik buahnya, ia memetiknya dari rumah tetangganya itu. Apabila ada kurma yang jatuh dan dipungut oleh anak-anak orang fakir itu, ia segera turun dan merampasnya dari tangan anak-anak itu, bahkan yang sudah masuk mulut mereka pun dipaksanya keluar. Orang fakir itu mengadukan halnya kepada Nabi saw. Beliau berjanji akan menyelesaikannya. Kemudian Rasulullah SAW. bertemu dengan pemilik kurma itu dan bersabda: “Berikan kepadaku pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah si anu. Sebagai gantinya kamu akan mendapat pohon kurma di surga.” Si pemilik pohon kurma berkata: “Hanya sekian tawaran tuan? Aku mempunyai banyak pohon kurma, dan pohon kurma yang diminta itu yang paling baik buahnya.” Lalu si pemilik pohon kurma itu pun pergi.
Pembicaraan si pemilik pohon kurma dengan Nabi SAW. itu terdengar oleh seorang dermawan, yang langsung menghadap Rasulullah SAW. dan berkata: “Seandainya pohon itu menjadi milikku, apakah tawaran tuan itu berlaku juga bagiku?” Rasulullah SAW. menjawab : “Ya.” Maka pergilah orang itu menemui pemilik pohon kurma. Si pemilik pohon kurma berkata: “Apakah engkau tau bahwa Muhammad saw menjanjikan pohon kurma di surga sebagai ganti pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah tetanggaku ? Aku telah mencatat tawaran beliau. Akan tetapi buah pohon kurma itu sangat mengagumkan. Aku banyak mempunyai pohon kurma, tetapi tidak ada satu pohon pun yang selebat itu.” Orang dermawan itu berkata: “Apakah engkau mau menjualnya?” Ia menjawab : “Tidak, kecuali apabila ada orang yang sanggup memenuhi keinginanku, akan tetapi pasti tidak aka nada yang sanggup.” Orang dermawan itu berkata lagi: “Berapa yang engkau inginkan?” Ia berkata : “Aku ingin empat puluh pohon kurma.” Orang dermawan itu terdiam, kemudian berkata lagi : “Engkau minta yang bukan-bukan. Tapi baiklah aku berikan empat puluh pohon kurma padamu, dan aku minta saksi jika engkau benar-benar mau menukarnya.” Iapun memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyaksikan penukaran itu.
Orang dermawan itu menghadap Rasulullah SAW. dan berkata: “Ya Rasulullah, pohon kurma itu telah menjadi milikku. Aku akan menyerahkannya kepada tuan.” Maka berangkatlah Rasulullah SAW. menemui pemilik rumah yang fakir itu dan bersabda: “Ambillah pohon kurma itu untukmu dan keluargamu.” Maka turunlah ayat ini (al-Lail ayat 1- akhir ayat) yang membedakan kedudukan dan kesudahan orang bakhil dengan orang dermawan.



BAB III
PENUTUP 

A. Kesimpulan 
Asma man Nazala fihim al-Qur’an merupakan nama-nama orang sahabat yang turun dalam al-Qur’an. Sahabat-sahabat ini merupakan orang-orang yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat dalam al-Qur’an. 
Adapun para sahabat Rasulullah yang terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya:
1. Zaid bin Haritsah dalam QS. al-Ahzab ayat 37 dan 40
2. Thalhah bin Ubaidillah dalam QS. al-Ahzab ayat 23
3. Ka’ab bin Malik dalam QS. at-Taubah ayat 118
4. Tsabit bin Qais dalam QS. Hujurat ayat 2 dan 3
5. Abu Ubaidah bin Jarrah dalam QS. al-Mujadilah ayat 22
6. Sa’ad bin Abi Waqash dalam QS. al-Anfal ayat 1
7. Abu Bakar as-Sidiq dalam QS. al-Lail ayat 17-21 

B. Saran – saran
1. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak     terdapat kesalahan. 
2. Kami menghimbau agar para pembaca dapat mengkritik makalah ini untuk ke depannya agar lebih baik dan tidak hanya mencukupkan pengetahuannya terhadap materi yang kami buat.
3. Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaksempurnaan isi dari makalah yang kami susun. 
4. Terimakasih kepada para pembaca dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca.



Senin, 08 Oktober 2018

Pengertian al-Fadlu beserta ayat dalam Alquran

A. Definisi Al-Fadlu
Lafadz Al-Fadlu berarti karunia. Yakni, pemberian atau anugerah dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah, pemberian yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Karunia itu bukan upah pekerjaan atau hasil usaha manusia, melainkan pemberian atau hadiah.
Karunia itu dianugerahkan Allah secara Cuma-Cuma yang diberikan untuk kebaikan manusia. Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya hanya dari Allah semata. Karunia yang Allah berikan ini adalah bentuk kasih saying-Nya kepada hamba-Nya yang telah berjuang dalam menjalankan agama Allah swt.

B. Lafadz Al-Fadlu dalam Alquran
Berikut adalah lafadz  yang disebutkan dalam alquran :
Lafadz/kata Penyebutan dalam Alquran
Qs. Al-baqarah [2]:64
Qs. Al-baqarah [2]:105
Qs. Al-Imran [3]:73
Qs. Al-Imran [3]:74
Qs. An-Nisa [4]:70
Qs. Al-Anfal [8]:29
Qs. An-Nuur [24]:22
Qs. An-Naml  [27]:16

C. Penafsiran lafad Al-Fadlu dalam Alquran
Qs. Al-baqarah [2] ayat 64

ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ ۖ فَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ لَكُنتُم مِّنَ ٱلْخَٰسِرِينَ ﴿٦٤﴾

“ Kemudian, setelah itu kamu berpaling. Maka sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, pasti kamu termasuk orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah [2]:64)
Lafadz pada ayat ini menjelaskan bahwa karunia yang dimaksudkan menurut tafsir jalalain ialah dengan menerima taubat atau menangguhkan siksa terhadapmu. Setelah manusia untuk ke sekian kalinya berpaling dari perintah Allah, jika bukan karena Allah dan Rahmat-Nya yang memberikan taufiq untuk bertobat dan mengampuni kesalahan-kesalahan mereka tentu mereka termasuk orang-orang yang rugi di dunia dan akhirat.

Qs. Al-baqarah [2] ayat 105

مَّا يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَلَا ٱلْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ ﴿١٠٥﴾

“Orang-Orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yag dikehendaki-Nya untuk diberi rahma-Nya dan karunia-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Al-baqarah[2]:105)
Karunia yang di maksudkan dalam ayat ini ialah Kebaikan Allah baik itu berupa wahyu (Al-Qur’an), ilmu pengetahuan, pertolongan maupun berita gembira. Telah diketahui bahwa orang-orang kafir dari golongan orang-orang yahudi dan musyrik penyembah berhala itu tidak akan megharapkan apa-apa kecuali hanya kemudharatan. Tuhan juga tidak suka Allah memberikan kebaikan kepada kalian. Allah tidak akan memperhatikan apa yang mereka harapkan dan apa yang mereka benci. Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya untuk menerima Rahmat-Nya dan karunia-Nya yang Maha besar.

Qs. Al-Imran [3] ayat 73

وَلَا تُؤْمِنُوٓا۟ إِلَّا لِمَن تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ ٱلْهُدَىٰ هُدَى ٱللَّهِ أَن يُؤْتَىٰٓ أَحَدٌ مِّثْلَ مَآ أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَآجُّوكُمْ عِندَ رَبِّكُمْ ۗ قُلْ إِنَّ ٱلْفَضْلَ بِيَدِ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٧٣﴾

“Dan jangan lah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang  seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjah disisi tuhanmu.” Katakanlah: “ Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, allah memberikan karunnia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al- Imran [3]: 73)
Pada ayat ini yang dimaksudkan dengan karunia menurut Quraisy Syihab ialah petunjuk yang berasal dari Allah. Petunjuk itu bisa berupa mengetahui kebenaran maupun mengamalkan kebenaran itu (memperoleh taufiq), dan tidak akan ada yang memperolehnya kecuali yang dikehendaki Allah. Umat yang memperoleh hidayah dan taufiq yakni ilmu dan amal, sehingga kemudian  mereka pun memperoleh ketinggian, menjadi  orang-orang yang menunjukan jalan yang lurus dengan perintah Allah. Hal ini karena karunia Allah da ihsan-Nya yang besar kepada mereka.

Qs. Al-Imran [3] ayat 74

يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِۦ مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ ﴿٧٤﴾
“Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs.-Al-Imran [3]: 74)
Karunia yang dimaksud pada ayat ini ialah kenabian dan hidayah. Allah memberikan kenabian dan kerasulan kepada siapa yang dikehendakinya, semata-mata karena karunia-Nya. Allah adalah pemilik karunia yang besar. Tidak ada yang bias menentang-Nya dan Dia tidak membatasi pemberian-Nya

Qs. An-Nisa [4]ayat 70

ذَٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا ﴿٧٠﴾
“Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Alah cukup mengetahui.” (Qs. An-Nisa [4]: 70)
Pada ayat ini yang dimaksudkan karunia menurut Quraisy Shihab ialah derajat yang mulia yang akan Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Pencapaian derajat yang mulia ini bukan hasil dari ketaatan seorang hamba, karena ketaatannya itu tidak akan dapat mencapainya. Tetapi, derajat yang mulia ini  bias mereka dapatkan sebagai karunia yang agung dari Allah, yang Maha Mengetahui dan memberi balasan terhadap semua perbuatan. Cukuplah pengetahuan Allah atas perbuatan orang yang beriman ketika ia mentaati-Nya dan memohon perkenan-Nya.

Qs. Al-Anfal [8] ayat 29
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ ﴿٢٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu furqan. Dan kami akan jauhkan darimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al-Anfal [8]:29)
Pada ayat ini, Quraisy Shihab mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan karunia ialah furqan yag artinya kemamppuan membedakan yang haq (benar) dan yang bathil, petunjuk dan kesesatan, yang halal dan yang haram. Furqan dapat juga diartikan dengan pertolongan. Ini adalah pahala yang Allah berikan bagi orang-orang yang percaya dan tunduk kepada kebenaran, apabila patuh pada perintah Allah dalam kesendirian atau ditengah keramaian, maka Allah akan memberikan karunia berupa kekuatan yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak benar.

Qs. An-Nuur [24] ayat 22
وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٢٢﴾

 “Dan jangan lah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampuni mu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-nuur [24]: 22)
Pada ayat ini yang dimaksudkan karunia ialah tidak meninggalkan berbuat kepada orang lain meski orang itu telah dzolim dan maksiat terhadap diri kita. Ayat ini berhubungan dengan sumpah abu bakar ra. Bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan  berita bohong tentang diri Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh memaafkan dan berlapang dada terhadap mereka setelah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.  Dalam ayat ini terdapat dalil menafkahi kerabat, dan bahwa menafkahi kerabat dan berbuat ihsan kepada mereka tidakla ditinggalkan karena maksiat seseorang dan terdapat anjuran memaafkan dan berlapang dada.

Qs. An-Naml  [27] ayat 16

وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ ﴿١٦﴾
“Dan sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “ Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.” (Qs. An-Naml [27]: 16)
Pada ayat ini yang dimaksudkan karunia ialah nikmat khusus yang diberikan Allah untuk hambanya dalam menjalankan perintah Allah. Ayat ini berkenaan dengan kisah Nabi Sulaiman dan kemampuannya yang dapat memahami bahasa binatang. Ini adalah kemampuan dan kenikmatan yang khusus dan luarbiasa yang hanya diberikan kepada Nabi Sulaiman. Sebuah kemampuan memahami suara-suaranya burung dan semut. Sebagai rasa syukur kepada Allah, bergembiara atas ihsan-Nya dan menyebut-nyebut nikmat-Nya. Yang diberikan Allah, dilebihkan-Nya dan di istimewakan-Nya kepada kami ini. Beliau mengakui dengan sungguh-gungguh nikmat Allah.