Pengertian Majâz
Majâz menurut etimologi terbentuk dari kata ja ̅za al-syai’ yajuu ̅hu (melampaui batas). Sedangkan secara terminologi menurut al-Jurjani adalah nominal yang di maksudkan bukan untuk makna tekstual, melainkan untuk nakna kontekstual. Jadi majâz adalah kata, kalimat atau wacana yang mengandung kiasan, yang berbeda dengan lafadz awal melainka memiliki arti tersendiri yang ada di belaknanya.
Istilah majâz merupakan istilah yang muncul belakangan, jauh setelah masa Rasul, yaitu abad kedua Hjriah. Dikemukakan oleh Abu ‘Ubadah Mu‘ammar al-Husana ̅ (w. 207 H) dengan karyanya : Maja ̅z al-Qur’¬a ̅n, meskipun istilah majâz di kemukakkan masih dalam istilah umum, mencakup istilah besar, untuk tidak mengatkan semua, gaya bahasa yang di kemukakkan oleh rang Arab sebelum atau di saat turunnya al-Qur’an dalam mengemukakkan (ta‘bi ̅r) gagasan yang hendak di sampaikannya secara substansial, gaya bahasa ini sejak al-Qur’an di turunkan bahkan sebelumnya, permasalahannya hanyalah menyangkut istilah saja.
Sebagai suatu gaya bahasa yang di gunakan dan di kaji orang banyak, majâz mempunyai keragaman pengertian sesuai keragaman pengkajiannya, secara historis pengertian majâz kemukakkan sebagai berikut:
Sebelum muncul istilah ini (majâz) para mufassir, seperti muja ̅hid (w. 104 H), Qata ̅dah dan Ibnu Abbas (w. 78 H) menggunakan istilah mas ̇al untuk menujukan istilah pengertian tasykhi ̅s (personifikasi) atau taswir (ilustrasi) yang dapat di kategorikan pula ke ragam gaya bahasa majâz. Dengan demikian, mereka mengerti di balik makna yang tersurat ada makna yang tersirat.
Abu ‘Ubadah Mu‘ammar al-Husana ̅ (w. 207 H) menggunakan istilah majâz untuk arti yang lebih luas, sebagai mana yang telah di sebagaimana yang telah di sebutkan diatas, sementara al Farra ̅‘ (w. 209 H) ahli bahasa semasanyamengunakan istilah tajawwuz justeru lebih dekat menunjuk kepada gaya bahasa yang kemudian lebih di kenal dengan istilah majâz.
Istilah belum begitu jelas ini kemudian di matangkan oleh al-Ja ̅hiz (w. 255) dengan menggunakan dua syarat bagi gaaya bahasa majâz: pertama, antara makna baru dengan makna lama (makna asal) harus ada sesuatu hubunganmakna (‘ala ̅qah). Kedua, hak untuk memndahkan sesuatu makna kata (yang asal) ke makna lain (yang baru) ada pada masyarakat pengguna bahasa tersebut, bukan hak individu. Tujuan di kemukakkannya dua syatar di atas adalah agar pesan yang di bawa bahasa itu jelas, karena fungsi bahasa menurutnya adalah al-Iba ̅nah (memberi kejelasan informasi atau pesan.
Pembagian majâz
- Majâz Lughawi
Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual). Atau majâz lughawi adalah majâz yang ‘illahnya di sandarkan pada aspek bahasa yang di gunakan. Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi dua macam: Isti’ârah dan Majâz Mursal.
1. Isti’ârah
Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi dua macam
1. Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah adalah isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata musyabbah bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
2. Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah isti’ârah yang dibuang musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت أطفارها * ألفيت كل تميمة لا تنفع
Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah, isti’ârah ada dua macam, yaitu:
a) Isti’ârah Ashliyyah : yaitu isti’ârah yang mana kata-kata isti’arah-nya berasal dari ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (إبراهيم :١
b) Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه:71
Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi tiga macam:
a. Al-Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
b. Al-isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah-nya, contoh:
وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
c. Al-Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pasa musyabbah dan musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27
2. Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah majâz dimana hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya
a. As-Sababiyyah adalah salah satu indikator majaz murasal pada majaz ini indikatornya adalah menyebabkan sesuatu, sedangkan adalah sesuatu yang di sebabkan, contoh:
له أياد علي سابغة * أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
b. Al-Musabbabiyyah, adalah menyebutkan sesuatu yang di sebabkan, sedangkan yang di maksud adalah sebabnya. contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
c. Al-Kulliyah adalah sebagai indikator majaz murasal dalam ilmu bilaghah di definisikan sebagai menyebutkan sesuatu keseluruhanya sedangkan yang di maksud adalah sebagiannya. contoh:
يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
d. Al-Juz`iyyah, adalah sebagai indkator majaz murasal menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang di maksudkan adalah keseluruhannya. contoh:
فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
e. I’tibâr mâ kâna adalah menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang di maksudkannya adalah sesuatu yang tidak terjadi atau yang akan terjadi. contoh:
وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)
f. I’tibâr mâ yakûnu adalah yang bentuknya menyebutkan sesuatu yang akan atau belum terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah sesuatu yang telah terjadi. contoh:
إني أرني أعصر خمرا (الآية)
g. Al-Hâliyah adalah menyebutkan sesuatu tempat, namun yang di maksudkan adalah sesuau yang menempatinya contoh :
واسأل القرية التى كنا فيها (الآية
h. Al-Mahalliyah adalah menyebutkan keadaan sesuatu padahal yang di maksudkan adalah yang menempatinya. contoh:
وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)
- Majâz ‘Aqli
Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang pemakmaan yang sebenarnya (tekstual) . Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam majâz ‘aqli, diantaranya:
a. Penyandaran fi’il kepada sebab akibat contoh:
وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
b. Penisbatan waktu, contoh:
يوما يجعل الولدان شيبا
c. Penisbatan kepada masdar, contoh:
وجعلنا الأنهار تجرى من تح تهم
Fungsi dan pengaruh majâz dalam lughah
Banyak sekali fungsi dan pengaruh majâz dalam suatu pembahasan. Ibnu Jinni (w. 647 H) mengungkapkan tiga fungsi majâz, sebagaimana yang di ungkapkan oleh beliau adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Tasybih adalah menyerupakan suatu gagasan atau makna yang abstrak dengan yang kongkrit, atau yang sifatnya kurang dengan sifatnya yang lebih. Seperti menyerupakan kekuasaan dengan tangan, yang pertama abstrak dan yang kedua kongkrit. Menyerupakan terangnya malam dengan terangnya siang, yang pertama mempunya sifat terang yang lemah, da yang kedua mempunya sifat terang yang lebih kuat. Contohnya dalam QS. Al-A’raf [7]: 131
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Artinya : “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
2. Fungsi Ta’kid adalah memperkokoh makna atau gagasan yang hendak di sampaikan, dengan cara membandingkan sebagaimana cara di atas. Dengan membandingkan makna yang lemah dengan makna yang lebih kuat sebagai hasil dari proses perbandingan tersebut akan menghasilkan sifat yang lebih kuat.
3. Fungsi tawassu’ adalah memperluas makna sehingga padat makna dengan cara deviasi yakni penyimpangan arti dari yang lama (tersurat) menjadi arti yang baru (yang tersirat). Fungsi tawassu’ tampak sekali pada majâz. Majâz ini. Namun, majâz iniberpingsi dalam sebuah wacan. Bukan untuk sebuah kalimat ataupun kata per kata.
Perbedaan antara majazi dan haqiqi
Dalam definisi majaz sudah kami paparkan di atas, dan dapat di simpulkan empat rukun majaz, diantaranya adalah:
- Al Wadh’u Al Awwalu (makna pertama)
- Al Wadh’u Ats Tsani (makna kedua)
- Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)
- Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua)
Semisal kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang” Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz : – Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas. – Makna kedua : makna lelaki yang pemberani. – Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang. – Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian. Maka berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki ‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz. Kesesatan Mu’tazilah Firqah Mu’tazilah telah sesat pada penggunaan majaz dalam aqidah mereka, dimana mereka menggunakan majaz ketika menafsirkan ayat- ayat tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah berfirman.
“Allah berfirman, Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada (Adam), yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku, Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk golongan yang (lebih) tinggi. (Shad [38]: 75)”
Mereka (mu’tazilah dan yang sejalan dengan meraka), memaknai kata “Tangan Allah” dengan “Kekuatan Allah”. Mereka mengatakan bahwa ada ‘alaqah (hubungan) antara kata “tangan” dan “kekuatan”. Dan mereka juga menetapkan adanya qarinah (penghalang untk memaknai makna haqiqi), yaitu mereka takut untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, ketika kata tersebut dimaknai dengan makna haqiqi. Sehingga lengkaplah syarat majaz yang mereka tetapkan, dan terpenuhilah syarat majaz dalam penafsiran meraka. Maka kita katakan : Memang antara makna tangan dan makna kekuatan memiliki hubungan (Al ‘Alaqah) dan hubungan kedua kata ini lazim digunakan. Akan tetapi qarinah yang mereka jadikan sebagai alasan tahriif (penyimpangan makna) mereka adalah qarinah yang tidak bisa diterima. Karena menetapkan adanya Tangan bagi Allah SWT, bukan berarti menyamakan Tangan Allah dengan tangan makluk-Nya.
Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan hakikat. Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bagi kita kesesatan orang mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Mereka telah menetapkan majaz bagi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, padahal pada majaz yang mereka tetapkan tidak terpenuhi syarat- syarat majaz. Definisi Haqiqi Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :
Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (ﺓﻼﺼﻟﺍ) berarti doa/ad du’aau (ﺀﺎﻋﺪﻟﺍ). 2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (ﺓﻼﺼﻟﺍ), berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, demikian makna sholat secara syariat. 3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang digunakan pada makna yanga sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al waladu (ﺪﻟﻮﻟﺍ) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki- laki. Maka dari pembagian jenis-jenis haqiqi ini, dapat kita ambil suatu faidah. Hendaklah kita meletakkan makna-makna tersebut pada tempatnya masing-masing. Artinya jika kita sedang berbicara dalam permasalahan bahasa, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara bahasa. Jika kita sedang berbicara tentang masalah agama/syari’at, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara syari’at. Begitu pula dengan haqiqi urfiyah.